Calling inequality unnatural, Thomas Piketty shows a way forward

Ulasan buku: Alam, Budaya, dan Ketimpangan oleh Thomas Piketty, diterjemahkan oleh Willard Wood (Scribe)

milik Thomas Piketty Alam, Budaya, dan Ketimpangan adalah sebuah buku kecil yang membahas isu yang sangat penting: Apakah kesenjangan sosial yang kita lihat setiap hari adalah hal yang wajar?

Dengan memanfaatkan data sejarah ekonomi dari seluruh dunia, Piketty menggambarkan kecenderungan dari akhir abad ke-18 menuju kesetaraan politik dan sosial ekonomi yang lebih besar. Hal ini terutama terlihat di negara-negara Barat sekitar tahun 1914 hingga sekitar tahun 1980. Sejak saat itu, terjadi perlambatan tren tersebut.

Piketty menunjukkan bahwa ketidaksetaraan terwujud dengan cara yang berbeda-beda di berbagai masyarakat; hal ini juga terwujud dalam cara yang berbeda dalam masyarakat yang sama sepanjang sejarah. Ketimpangan, katanya, “mengikuti arah yang sangat berbeda – politik, sosial ekonomi, budaya, peradaban, dan agama”.

Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa kebudayaan manusia lebih bervariasi, dan karena itu lebih mudah dibentuk, daripada yang diperkirakan banyak orang. “Budaya dalam arti luas,” ujarnya, “dan lebih khusus lagi mobilisasi politik”lah yang “memberikan penjelasan atas keragaman, derajat, dan struktur kesenjangan sosial yang kita amati.”

Oleh karena itu, tidak ada alasan mengapa kita tidak dapat melanjutkan alur pembangunan abad ke-20 menuju kesetaraan yang lebih besar di abad sekarang. Faktanya, tanpa mengatasi kesenjangan secara serius, menurut Piketty, kita tidak dapat berharap untuk mengatasi krisis iklim secara memadai.

Piketty adalah seorang profesor di École des Hautes Études di Ilmu Pengetahuan Sosial (EHESS) dan Paris School of Economics, dan salah satu direktur Lab Ketimpangan Dunia. Dia terkenal karena landmarknya Ibukota di Abad Kedua Puluh Satu (2013), yang menjadi buku terlaris dan memicu perdebatan global tentang kapitalisme, kesenjangan, dan kebijakan perpajakan.

Dengan menggunakan analisis historis dan statistik, Piketty berargumen bahwa jika pengembalian modal melebihi tingkat pertumbuhan ekonomi, maka kekayaan akan semakin terkonsentrasi. Hal ini, pada gilirannya, menyebabkan peningkatan kesenjangan yang mengkhawatirkan, yang tidak hanya tidak adil namun juga melemahkan nilai-nilai demokrasi dan meritokratis, kepercayaan terhadap institusi dan kohesi sosial.

Buku baru Piketty dirancang untuk membuat pemikirannya tersedia bagi khalayak yang lebih luas. Ini diadaptasi dari kuliah tahun 2022 tentang penelitian sejarah dan komparatif tentang ketimpangan dari Basis Data Ketimpangan Dunia dan bukunya Sejarah Singkat Kesetaraan (2021).

Dengan gaya percakapan, dan disertai dengan bagan warna yang menarik, buku ini dengan cepat membahas topik-topik termasuk kesenjangan pendapatan dan kekayaan, ketidaksetaraan gender, kebangkitan negara kesejahteraan, belanja pendidikan, perpajakan progresif atas pendapatan dan warisan, runtuhnya aset kolonial, masyarakat. krisis utang dan krisis iklim.

Piketty menyaring beberapa wawasan utamanya tentang perkembangan kesenjangan pendapatan dan kekayaan sepanjang sejarah, dan memaparkan apa yang ia pandang sebagai kunci menuju dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.

Ketimpangan pendapatan dan kekayaan

Dalam hal pendapatan (siapa memperoleh penghasilan apa), kelompok 50% masyarakat terbawah menerima 5-6% persen dari total pendapatan di negara-negara yang paling tidak egaliter (misalnya Afrika Selatan). Di negara-negara yang lebih egaliter (misalnya di Eropa Utara), kelompok 50% terbawah memperoleh 20-25% dari total pendapatan.

Distribusi kekayaan (siapa yang memiliki apa) bahkan semakin tidak merata. Kelompok 50% masyarakat termiskin tidak memiliki lebih dari 5% total kekayaan di negara mana pun di dunia.

Meskipun hal-hal tersebut penting, kemajuan dalam mengurangi kesenjangan pada abad ke-20 terutama berkaitan dengan distribusi pendapatan. “Dalam hal distribusi kekayaan,” kata Piketty, “hanya sedikit yang berubah.”

Seperti yang ia tunjukkan, “redistribusi besar-besaran” properti di negara asalnya, Prancis, yang sebagian besar terjadi antara tahun 1914 dan 1980, memiliki “dampak signifikan dalam mengurangi kesenjangan antara 10% orang terkaya dan 40% orang berikutnya”, melalui munculnya “property”. -memiliki kelas menengah.” Terlepas dari perkembangan penting ini, “50% masyarakat termiskin sama sekali tidak mendapatkan manfaat dari redistribusi properti dalam dua abad terakhir.”

Piketty berargumen bahwa, seperti gerakan menuju kesetaraan yang lebih besar pada abad ke-20, pola peningkatan kesenjangan yang terjadi belakangan ini bukanlah hal yang tidak bisa dihindari. Hal-hal tersebut juga tidak dapat dijelaskan dalam istilah “bakat pribadi, bakat alami, atau temperamen alami”.

Sebagai jurnalis Jonathan Portes merangkumgagasan bahwa “kesenjangan yang besar adalah sesuatu yang ‘alami’, karena kemampuan atau kewirausahaan tidak tersebar secara merata antar individu (atau negara, atau kelompok etnis)” sering “digunakan untuk menyatakan bahwa upaya untuk mengurangi kesenjangan tidak akan efektif atau mengurangi pertumbuhan dan kemakmuran, atau keduanya.”

Klaim ini tidak didukung oleh data historis, kata Piketty. Ia menolak pandangan, yang mendominasi sebagian besar pemikiran ekonomi kontemporer dan diskusi kebijakan, bahwa “ketimpangan yang sangat besar adalah akibat yang tidak dapat dihindari dari berfungsinya ekonomi pasar dengan baik.” Kunci untuk memahami pengurangan kesenjangan, menurutnya, adalah bahwa hal tersebut berkaitan langsung dengan budaya dan institusi politik suatu negara. Secara khusus, hal ini merupakan hasil dari peran historis mobilisasi politik kolektif untuk mendorong perubahan kebijakan.

Apa yang berhasil: Swedia vs. Amerika Serikat

Swedia pada abad ke-20, tulis Piketty, adalah contoh kekuatan organisasi politik, perjuangan sosial, dan “kemampuan untuk membangun hasil kelembagaan baru.”

Hingga sekitar tahun 1920, Swedia, seperti negara-negara Eropa lainnya, “sangat tidak egaliter.” Negara ini mempunyai sistem politik yang elitis. Hanya 20% orang terkaya yang bisa memilih. Suara dibagi berdasarkan kekayaan individu: semakin kaya Anda, semakin banyak suara yang bisa Anda berikan.

Kemudian “mobilisasi kolektif” yang dilakukan oleh serikat pekerja dan Partai Sosial Demokrat “menempatkan kapasitas negara Swedia untuk melayani … proyek politik yang berbeda.” Daripada menggunakan “catatan yang memungkinkan pengukuran pendapatan dan properti” untuk mengalokasikan hak memilih, mereka malah menggunakannya untuk “mengenakan pajak progresif, dengan tujuan mendanai akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan.”

Piketty berargumentasi bahwa contoh di Swedia memberikan pelajaran dalam beberapa hal. Pertama, hal ini menunjukkan bahwa “suatu negara pada dasarnya tidak pernah bersifat inegaliter atau egaliter.” Hal ini “tergantung siapa yang mengendalikan pemerintah dan untuk tujuan apa.” Kedua, kebijakan sosial demokrat Swedia menjadikannya salah satu masyarakat yang paling setara di dunia, sekaligus salah satu yang terkaya.

Amerika Serikat membuat perbandingan yang menarik. Dalam sejarah terkini, kekayaan kelas menengah telah menyusut. Setelah mencapai pola distribusi kekayaan yang serupa dengan Eropa, kini negara tersebut menuju ke arah “tingkat distribusi kekayaan di Eropa sebelum Perang Dunia I.”

Ketimpangan menurun di Amerika Serikat antara tahun 1932 dan 1980. Selama periode tersebut, negara tersebut memiliki tarif pajak penghasilan dan warisan yang progresif, serta perekonomian yang makmur yang “tidak menghambat pertumbuhan ekonomi maupun inovasi.” Pemotongan tarif pajak tertinggi pada era Reagan pada tahun 1980an tidak mencapai apa yang dijanjikan oleh para pendukungnya. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada periode 1990-2020 hanya separuh dibandingkan pertumbuhan pada tahun 1950-1990. Ketimpangan meningkat.

Mengatasi kesenjangan

Meskipun prosesnya tidak sempurna, pembangunan negara kesejahteraan merupakan faktor terpenting dalam mengatasi kesenjangan di abad ke-20. Perpajakan progresif digunakan untuk mendanai peningkatan pengeluaran pada layanan kesehatan, pensiun, perumahan, infrastruktur dan pendidikan. Piketty berpendapat bahwa peningkatan belanja publik sebesar sepuluh kali lipat selama abad ini merupakan faktor penting dalam mendorong kebebasan individu, mengurangi kesenjangan dan meningkatkan produktivitas dan standar hidup.

Pertanyaan tentang apa yang mungkin mewakili “tingkat kesenjangan pendapatan yang dapat diterima”, menurut Piketty, “jelas merupakan pertanyaan yang harus diselesaikan oleh proses demokrasi dan musyawarah publik.” Namun ia mengusulkan rasio antara masyarakat termiskin dan terkaya dalam kisaran 1 berbanding 3 atau 1 berbanding 10. Tingkat ini dapat mengakomodasi keberagaman aspirasi, sekaligus menjaga insentif yang “diperlukan bagi organisasi sosial dan ekonomi.” Tidak ada apa pun, baik secara ekonomi maupun sosial, yang membenarkan rasio 1 banding 50 atau 1 banding 100.

Faktor penting dalam keunggulan historis Amerika Serikat dibandingkan para pesaingnya dalam hal produktivitas, terutama di sektor industri, bukanlah tarif pajak yang rendah atau pendapatan perusahaan yang sangat besar. Itu adalah kepemimpinannya dalam pendidikan. Akses “hampir universal” terhadap pendidikan menengah yang dicapai Amerika Serikat pada tahun 1950an baru terwujud di Jerman, Perancis dan Jepang pada tahun 1980an dan 1990an.

Sejak saat itu, meskipun akses terhadap pendidikan tinggi mengalami perluasan yang signifikan, dengan berbagai keuntungan yang dimilikinya, pengeluaran untuk pendidikan di negara-negara Barat telah mengalami stagnasi.

Ketimpangan dan krisis iklim

Kembali ke tema “alam” di akhir bukunya, Piketty berpendapat bahwa memahami kesenjangan membantu kita untuk lebih memahami isu perubahan iklim, dan dengan demikian apa yang perlu kita lakukan untuk mengatasinya. Dalam sebuah wawancara dengan reporter New York Times Manuela Andreonidia dengan ringkas menyatakan poin utamanya:

Kita tidak mungkin bisa melestarikan … kelayakan huni planet ini dalam jangka panjang jika kita tidak mengatasi tantangan kesenjangan pada saat yang bersamaan.

Hal ini sebagian disebabkan oleh tingginya emisi karbon di wilayah Utara dibandingkan dengan wilayah Selatan. Namun hal ini juga disebabkan oleh ketimpangan emisi karbon di suatu negara – khususnya, jejak karbon yang besar dari 10% kelompok terkaya.

“Jelas bahwa kita harus mengubah pola produksi dan konsumsi di seluruh dunia,” Piketty mengamati. Hal ini perlu dilakukan di seluruh masyarakat, namun dengan fokus khusus pada kelompok kaya dan kelas menengah:

Kelompok kelas menengah dan berpendapatan rendah tidak mungkin menerima transformasi yang diperlukan jika Anda tidak meminta upaya yang lebih besar dari orang-orang yang berada di puncak.

Piketty berpendapat bahwa krisis iklim “dapat menyebabkan tuntutan kesetaraan yang lebih besar dibandingkan yang kita lihat baru-baru ini”. Pada abad ke-20, banyak negara mencapai perluasan akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan – dan, “pada tingkat yang lebih rendah, transportasi, perumahan dan energi” – dengan mengeluarkan bagian-bagian perekonomian ini dari kerangka pasar dan memandang masing-masing bagian tersebut sebagai hal yang tidak penting. suatu barang publik.

“Pergeseran serupa,” ujarnya, “dapat membantu dunia mengekang perubahan iklim dan menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati.” Ketika Andreoni bertanya tentang tanggapan skeptis dan sinis terhadap usulan tersebut, Piketty menjawab:

itulah yang kami lakukan untuk pendidikan dan kesehatan. Kami baru saja memutuskan bahwa penting bagi semua anak pada usia 6 dan kemudian pada usia 10 tahun, dan kemudian pada usia 15 dan kemudian pada usia 18 tahun untuk belajar tentang ini, dan itu. Dan kami tidak membiarkan sistem pasar memutuskan hal ini. Dan sekarang tidak ada yang mau kembali ke situasi sebelumnya.

Christopher Pollard adalah akademisi sesi dalam sosiologi dan filsafat di Universitas Deakin.

Artikel ini diterbitkan ulang dari Percakapan di bawah lisensi Creative Commons. Baca artikel asli.