Waktu, antara Choronos dan Chairos

SETIAP terjadi pergantian tahun, kita selalu sadarkan bahwa kehidupan kita sudah berlalu satu tahun. Demikian awal tahun kita menyadari bahwa perjalanan sebagai manusia bertambah satu tahun. Antara awal dan akhir tahun, kami membuat permenungan akan segala yang kami lakukan, yang telah kami capai dan yang belum kami capai, sambil membuat rencana dan resolusi tentang apa yang akan kami lakukan pada tahun yang baru.

Namun, ada satu hal yang menarik dalam fenomena ini. Kita seolah diperdaya dengan sebuah tipuan alam. Kita diperdaya seolah telah melewati sebuah chronos, sebuah kurun waktu yang diukur dengan detik, menit, jam, hari, tanggal, bulan, tahun, dan lain sebagainya. Kita telah melewati satu kurun waktu, dan sekarang memasuki kurun waktu lain yang baru. Seakan waktu berjalan dalam tahap-tahap tertentu, dalam periode-periode tertentu, dalam kurun-kurun tertentu.

Alam membawa kita pada sebuah rangkaian peristiwa kehidupan yang dibatasi oleh kurun-kurun tertentu. Padahal yang sesungguhnya terjadi, manusia berjalan dalam sebuah lorong waktu yang tiada batasnya antara satu kurun dengan kurun yang lain. Dengan kata lain, kita dibohongi oleh gerak alam berupa perputaran bumi mengelilingi matahari sehingga menimbulkan ritme siang dan malam, ritme gerak dari detik ke detik, dari jam ke jam, dan sebagainya.

Baca juga : Khloé Kardashian Rayakan Tahun Baru Bersama Anak-anak dan Keluarga

Bersamaan dengan itu, terciptalah kesan seolah-olah setiap saat ada ‘warna’nya sendiri-sendiri. Warna yang sedikit banyak disebabkan karena kita diundi setiap hari, bulan, tahun, musim, bahkan abad dengan nama masing-masing. Dengan nama tersebut, kami merencanakan acara dan kegiatan yang khas untuk mewarnai setiap hari, bulan, tahun, dan musim itu.

Karena itu pula, ada hari-hari istimewa, bulan-bulan istimewa, tahun-tahun istimewa, musim-musim istimewa dengan berbagai warnanya masing-masing. Tanggal 31 Desember dan 1 Januari terasa berbeda dari tahun sebelumnya. Padahal semua hari, bulan, dan tahun sama saja. Semuanya hanya sebuah ‘tipuan alam’.

Karena, tanggal 31 Desember dan 1 Januari sesungguhnya sama saja dengan tahun sebelumnya atau hari kemarinnya. Yang membedakannya hanyalah bahwa ada siang dan malam–dan ada perhitungan detik, menit, dan jam–yang menyebabkan kita membuat patokan pembeda antara hari yang satu dengan hari yang lain. Padahal sesungguhnya, kita hanya melewati sebuah lorong waktu yang panjang tanpa batas, tanpa perbedaan antara satu titik perjalanan dengan titik perjalanan lainnya.

Baca juga : Presiden Joe Biden: Penyelidikan Terus Berlanjut Pasca Serangan Mematikan di French Quarter, New Orleans

Karena tipuan alam, kami menganggap hari tertentu lebih istimewa dari hari yang lain. Yang satu penuh gegap gempita sebagai hari raya, hari ulang tahun, sementara yang lain berlalu biasa-biasa saja. Hal ini lebih terasa lagi pada masyarakat dengan empat musim yang berbeda secara drastis. Ketika musim gugur dan musim dingin tiba, waktu berubah warnanya menjadi kering dan dingin. Terlebih lagi, hati manusia pun ikut kering dan dingin. Namun, begitu musim semi tiba, semuanya bersemi dan berbunga ria, termasuk hati manusia.

Ketika musim panas tiba semuanya menjadi terbuka, hangat, termasuk hati dan tingkah laku manusia. Kenyataannya, sepanjang hari dan musim sama saja, tanpa perbedaan apa pun. Karena semuanya adalah sebuah rangkaian waktu yang panjang tanpa batas. Waktu hanyalah sebuah koridor tidak berujung, dan kita hanya terhempas dan menemukan diri begitu saja di koridor panjang itu.

Sisi lain, tipuan alam membuat waktu menjadi kursi. Sesungguhnya, waktu adalah anugerah dari Tuhan bagi kita yang di dalamnya terdapat kesempatan untuk bertindak baik dan penuh cinta kasih. Artinya, waktu yang menghadirkan kesempatan bagi kita untuk mengisi kesempatan-kesempatan tersebut, dengan tindakan penting yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

Baca juga : Keheningan di Bourbon Street Mengungkap Kisah Kejadian Tragedi Tahun Baru

Makna hidup

Makna hidup kita justru ditentukan oleh adanya waktu kursi, yang terurai dalam rangkaian dalam satu waktu yang kita kenal. Tanpa itu, hidup tanpa menjadi makna. Hidup menjadi begitu membosankan karena kita hanya berjalan dan melewati lorong yang panjang, tanpa tahu sudah sampai di mana perjalanan kita.

Betapa melelahkannya seandainya tanpa adanya kesempatan kurun waktu. Oleh karena itu, sulit untuk membayangkan apa artinya hidup ini, seandainya waktu dialami sebagai lorong tanpa sekat-sekat, tanpa kurun-kurun tertentu. Pertama, dengan adanya rangkaian waktu yang singkat, kita terdorong untuk membuat berbagai perencanaan hidup untuk menata kehidupan secara bermakna. Kita dipaksa oleh tipuan alam, untuk memberi makna pada hidup dengan mengisi rangkaian kurun waktu yang ada.

Karena, dengan rangkaian kurun waktu, waktu menjadi sesuatu yang berharga untuk diisi. Waktu menjadi semacam peluang yang dirasakan oleh kita sebagai sesuatu yang berharga untuk diisi. Waktu menjadi semacam peluang yang dirasakan oleh kita sebagai sesuatu yang tidak pernah terulang kembali. Oleh karena itu, rangkaian waktu yang kursi harus direbut, harus diisi dengan sesuatu yang bermakna.

Baca juga : Dataran Engku Putri Jadi Pusat Perayaan Tahun Baru 2025

Kedua, rangkaian waktu juga memaksa kita untuk berhenti sejenak pada titik mempertahankan rangkaian waktu tertentu, untuk melihat kembali segala sesuatu yang telah kita lakukan. Sesungguhnya kita disadarkan oleh rangkaian kurun waktu untuk merefleksikan semua yang telah kita lewati untuk menandai makna-makna yang telah kita raih.

Bersamaan dengan itu, dengan rangkaian waktu pula kita didorong untuk meninjau kembali jalan hidup kita. Penyusunan kurun waktu lalu merupakan sebuah panggilan. Panggilan untuk kembali ke rel kehidupan penuh makna. Panggilan untuk menata ulang segala sesuatu yang terasa berat dan menumpuk tekad untuk mewujudkan yang masih menggantung.

Namun, semua itu hanya mungkin jika kita menyadari bahwa sesungguhnya kita dan segala sesuatu di alam ini, berubah terus menerus. Bahwa hal yang pasti dan tetap dalam hidup ini hanyalah perubahan itu sendiri, seiring dengan perjalanan waktu. Kesadaran ini hanya mungkin muncul jika ada rangkaian waktu kurun, yang mengingatkan kita bahwa kita tidak berada di suatu tempat, melainkan terus berjalan dalam sebuah proses tiada henti.

Ketiga, kita disadarkan bahwa realitas kehidupan bukanlah sebuah realitas statis, sebuah ‘ada’, melainkan adalah sebuah realitas dinamis, proses, sebuah ‘menjadi’ tanpa henti. Realitas ‘menjadi’ inilah yang memungkinkan moralitas mempunyai makna yang mendalam. Sebab, seandainya realitas kehidupan ini hanyalah sebuah realitas statistik, yang tetap, atau sebuah ‘ada yang statistik’ moralitas tidak mempunyai makna apa-apa. Oleh karena itu, realitas itu dirasakan sebagai sesuatu yang diberikan, yang tidak dapat diubah ke arah yang lebih baik.

Dengan demikian, tanggung jawab moral kita atas hidup juga tidak punya tempat. Apa artinya moralitas kalau semuanya sudah terberi secara statistik tanpa bisa diubah lagi? Akibatnya, jika realisasi dipahami sebagai suatu keadaan statis, kita lalu menjadi pasrah, menerima, tunduk, tanpa pernah berusaha untuk mengubahnya ke arah yang baik.

Ini menunjukkan bahwa tipuan alam yang membuat manusia teperdaya dalam rangkaian kurun waktu telah menyadarkan manusia bahwa ia dan seluruh totalitas yang ada adalah sebuah proses menjadi. ‘Ada’ adalah sebuah ‘menjadi’. Tanpa rangkaian kurun waktu, adanya bahaya yang sangat besar bahwa kita bisa terlelap dibuai lorong waktu tanpa sekat. Sehingga, bisa teperdaya seolah-olah segala sesuatu hanyalah ada, statistik tanpa perubahan. Persis seperti rotasi bumi yang begitu cepat memperdaya, seakan kita berdiri tegak dalam keadaan statis. Padahal, kenyataannya sesungguhnya adalah sebuah pergerakan jungkir balik dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Keempat, proses menjadi sekaligus juga mengingatkan kita bahwa hidup punya teleologi. Ada titik akhir yang dituju oleh kita, disukai atau tidak. Ada titik omega ke mana seluruh hidup kita mengarah. Titik akhir atau titik omega itu juga membuat hidup ini bermakna. Sekaligus membuat moralitas punya tempat dalam hidup kita. Moralitas lalu bermakna memberi petunjuk, orientasi, arah untuk memungkinkan kita menata hidup secara bermakna di lorong waktu yang tersekat-sekat dalam kurun waktu yang berubah-ubah menuju titik omega tersebut.

Titik omega sendiri terdiri dari rangkaian titik omega lebih kecil lagi, yang dicapai pada setiap kurun waktu tertentu, dan ditinjau kembali pada akhir setiap kurun waktu. Akhir setiap hari, setiap bulan, khususnya setiap tahun, kita seakan berhenti sejenak untuk menakar titik-titik omega yang telah dicapainya. Sekaligus, untuk menghitung kembali sisa-sisa kekuatan yang masih ada untuk kembali menggapai Omega Akhir, berupa kesempurnaan abadi yang tetap tidak akan pernah diraih, dirangkul, digenggam secara penuh. Melainkan hanya didekati dalam kadar yang berbeda untuk setiap kita.

Oleh karena itu, terlepas dari tipuan alam, di akhir dan awal setiap kurun waktu, seperti saat-saat akhir dan awal tahun, kita patut bersyukur karena telah diberi waktu yang choronos yang hanyalah sebuah tipuan. Karena hanya dengan choronos, hidup kita menjadichairos, punya makna.

Artinya, bahwa hanya dengan itu kita diberi peluang dan tanggung jawab untuk membangun hidup kita, dari satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain, menjadi semakin bernilai, baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain, dan tidak sekadar berada di lorong waktu tanpa sekat. Selamat Tahun Baru 2025.